Mitos vs. Fakta: 5 Anggapan Salah Tentang Hukum di Indonesia
1. Mitos: "Kalau Tidak Ada Bukti Tertulis, Tidak Bisa Menuntut"
Mitos:
Banyak orang percaya bahwa tanpa bukti tertulis (seperti perjanjian, kuitansi, atau surat), mereka tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut atau mempertahankan hak mereka di pengadilan.
Fakta:
Hukum Indonesia mengenal berbagai jenis alat bukti, tidak hanya dokumen tertulis. Pasal 164 HIR dan 1866 KUH Perdata mengakui lima jenis alat bukti sah:
- Bukti tertulis/surat
- Bukti saksi
- Persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah
Dalam hukum pidana (Pasal 184 KUHAP), alat bukti yang sah meliputi:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa
Bahkan dalam transaksi elektronik, UU ITE mengakui informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Contoh Kasus:
Dalam perkara hutang-piutang tanpa bukti tertulis, penggugat masih bisa membuktikan melalui kesaksian pihak yang hadir saat transaksi, rekaman percakapan, atau bukti transfer bank.
2. Mitos: "Sudah Ada Pengacara, Tidak Perlu Hadir di Pengadilan"
Mitos:
Banyak yang beranggapan bahwa setelah menunjuk pengacara, mereka tidak perlu hadir lagi dalam persidangan karena semua sudah diwakilkan.
Fakta:
Meskipun pengacara dapat mewakili klien dalam beberapa tahap persidangan, ada beberapa kondisi yang tetap mengharuskan kehadiran langsung pihak yang berperkara:
- Sidang mediasi dalam perkara perdata wajib dihadiri para pihak secara langsung (Perma No. 1 Tahun 2016)
- Pemeriksaan saksi jika pihak dipanggil sebagai saksi
- Pembuktian sumpah yang harus dilakukan langsung
- Dalam perkara pidana, terdakwa wajib hadir kecuali dalam kondisi tertentu yang diizinkan UU
- Dalam perkara perceraian, upaya perdamaian mengharuskan kehadiran suami-istri
Ketidakhadiran tanpa alasan sah dalam persidangan yang mewajibkan kehadiran dapat berakibat:
- Gugatan dianggap gugur (untuk penggugat)
- Putusan verstek/tanpa kehadiran (untuk tergugat)
- Pemanggilan paksa (untuk terdakwa pidana)
Contoh Kasus:
Dalam perkara perceraian, meski sudah menunjuk pengacara, suami-istri tetap harus hadir pada sidang pertama untuk upaya perdamaian. Jika tidak hadir tanpa alasan sah, gugatan bisa dinyatakan gugur.
3. Mitos: "Jika Sudah Membayar Denda, Bebas dari Hukuman Pidana"
Mitos:
Banyak orang percaya bahwa dengan membayar denda atau "damai" dengan korban, mereka bisa terbebas dari proses hukum pidana.
Fakta:
Hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas dan bersifat publik. Ini berarti:
- Tindak pidana adalah pelanggaran terhadap kepentingan publik/negara, bukan hanya kepentingan korban
- Proses hukum pidana tetap berjalan meskipun ada perdamaian dengan korban
- Pembayaran ganti rugi kepada korban tidak otomatis menghapus tuntutan pidana
Pengecualian terbatas hanya pada:
- Delik aduan (seperti penghinaan, perzinahan) yang dapat dicabut laporannya oleh korban
- Kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan (UU LLAJ)
- Beberapa tindak pidana ringan yang diatur dalam Perma No. 2/2012
- Penyelesaian di luar pengadilan untuk anak berhadapan dengan hukum (diversi)
Contoh Kasus:
Kasus penganiayaan (Pasal 351 KUHP) tetap diproses meskipun pelaku sudah membayar biaya pengobatan dan berdamai dengan korban, karena bukan delik aduan.
4. Mitos: "Hukum Hanya untuk yang Mampu/Kaya"
Mitos:
Persepsi bahwa keadilan hanya bisa didapatkan oleh mereka yang mampu membayar pengacara mahal atau memiliki koneksi.
Fakta:
Indonesia memiliki sistem bantuan hukum yang menjamin akses keadilan bagi masyarakat tidak mampu:
- UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menjamin bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin
- Posbakum (Pos Bantuan Hukum) tersedia di setiap pengadilan
- Prodeo (beracara tanpa biaya) untuk masyarakat tidak mampu
- LBH (Lembaga Bantuan Hukum) di berbagai kota
- Kewajiban pro bono bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma
- Pengadilan keliling untuk daerah terpencil
Untuk mendapatkan bantuan hukum gratis, pemohon harus melampirkan:
- Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan/desa
- Kartu Keluarga Sejahtera atau bukti kepesertaan program perlindungan sosial
Contoh Kasus:
Seorang buruh yang dipecat sepihak bisa mendapatkan pendampingan dari LBH untuk menggugat perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial tanpa biaya.
5. Mitos: "Tanda Tangan di Atas Materai Selalu Sah Secara Hukum"
Mitos:
Banyak yang percaya bahwa dokumen apapun yang ditandatangani di atas materai pasti sah dan mengikat secara hukum.
Fakta:
Materai hanya berfungsi sebagai pajak dokumen, bukan penentu keabsahan perjanjian. Keabsahan suatu perjanjian ditentukan oleh:
- Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan 4 syarat sah perjanjian:
- Kesepakatan para pihak
- Kecakapan untuk membuat perikatan
- Suatu hal tertentu (objek perjanjian jelas)
- Causa yang halal (tidak melanggar hukum)
- Materai tidak disebutkan sebagai syarat keabsahan
- Fungsi materai adalah untuk pajak dokumen (bea meterai) sesuai UU No. 10 Tahun 2020
- Dokumen tanpa materai tetap sah, tapi bisa dikenakan denda meterai
- Dokumen bermeterai tapi melanggar syarat sah perjanjian tetap tidak sah/batal
Dokumen yang wajib bermaterai (untuk keperluan pembuktian di pengadilan):
- Surat perjanjian dan dokumen yang menyatakan nilai uang
- Akta notaris dan akta PPAT
- Surat berharga seperti wesel, cek, dan surat utang
- Dokumen tender dan lelang
Contoh Kasus:
Perjanjian pinjam-meminjam yang ditandatangani di atas materai oleh anak di bawah umur tetap tidak sah karena melanggar syarat "kecakapan" dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Bonus: Mitos Tambahan yang Sering Beredar
Mitos: "Polisi Tidak Bisa Menangkap Tanpa Surat Perintah"
Fakta:
Polisi dapat melakukan penangkapan tanpa surat perintah dalam keadaan:
- Tertangkap tangan (Pasal 18 ayat 2 KUHAP)
- Tindak pidana yang diancam 5 tahun atau lebih
- Tersangka dikhawatirkan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana
Mitos: "Setelah Menikah, Harta Otomatis Menjadi Harta Bersama"
Fakta:
Pasangan dapat membuat perjanjian kawin untuk pemisahan harta (Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015). Perjanjian ini bahkan dapat dibuat selama perkawinan berlangsung.
Kesimpulan
Pemahaman yang keliru tentang hukum dapat merugikan masyarakat dalam upaya memperoleh keadilan. Penting untuk mencari informasi hukum dari sumber terpercaya seperti lembaga bantuan hukum, pengadilan, atau advokat berlisensi.
Masyarakat juga perlu proaktif mencari informasi hukum melalui layanan konsultasi hukum gratis yang disediakan Posbakum di pengadilan, LBH, atau program bantuan hukum pemerintah.
